Wikipedia

Hasil penelusuran

Senin, 02 November 2015

Biografi Martha Christina Tiahahu

Martha Christina Tiahahu
Tokoh Pahlawan Nasional

Martha Christina Tiahahu lahir pada tahun 1800, di suatu desa bernama Abubu di Pulau Nusalaut, Kabupaten Maluku Tengah. Martha kecil terkenal berkemauan keras dan pemberani. Ia selalu mengikuti ayahnya, Paulus Tiahahu, termasuk ikut menghadiri rapat perencanaan perang. Paulus Tiahahu merupakan salah seorang pemimpin perjuangan rakyat Maluku melawan Belanda. Setelah dewasa, Martha Christina Tiahahu pun ikut bertempur.
Martha Christina Tiahahu dan ayahnya bersama Thomas Matulessy alias Kapitan Pattimura berhasil menggempur pasukan Belanda yang bercokol di Pulau Saparua, Kabupaten Maluku Tengah. Namun, dalam pertempuran sengit di Desa Ouw-Ullath, sebelah Tenggara Pulau Saparua, para pejuang Maluku kalah akibat kekuatan yang tidak seimbang. Banyak pejuang yang tertangkap, termasuk Paulus Tiahahu yang dihukum mati.
Meski demikian, Martha Christina Tiahahu terus bergerilya bersama para pejuang hingga akhirnya tertangkap dan diasingkan ke Pulau Jawa. Menjadi tawanan tidak membuatnya melunak terhadap Belanda. Ia tetap bersikap keras dengan melakukan aksi mogok makan dan jatuh sakit. Martha Christina meninggal dunia di atas kapal perang Eversten milik Belanda dalam perjalanan ke tempat pengasingan di Jawa. Jasad beliau dimakamkan di Laut Banda dengan penghormatan militer pada 2 Januari 1818.

Sumber: https://www.pahlawanindonesia.com/biografi-martha-christina-tiahahu/

Biografi Maria Walanda Maramis


Maria Walanda Maramis
Tokoh Pahlawan Nasional

Maria Walanda Maramis adalah tokoh Pergerakan Nasional yang bergerak di bidang pengembangan wanita pada awal abad 20. Maria bisa disebut sebagai RA Kartini dari Minahasa. Ia lahir di Kema, Minahasa Utara. Tanggal 1 Desember diperingati masyarakat Minahasa sebagai 'Hari Ibu Maria Walanda Maramis'. Selain itu, dibangun pula Patung Walanda Maramis di Komo Luar Kecamatan Weang, Manado. Hal ini menunjukkan bahwa sosok Maria Walanda Maramis sangat melekat di hati masyarakat Minahasa.
Maria adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Saudara laki-lakinya yang bernama Andries Maramis yang nantinya terlibat dalam pergolakan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Maria menjadi yatim piatu saat berusia 6 tahun karena kedua orang tuanya jatuh sakit lalu meninggal dunia. Maria dan dua saudaranya kemudian diasuh oleh paman mereka, Rotinsulu, dan memasukkan Maramis bersaudara ke Sekolah Melayu di Maumbi. Rotinsulu adalah orang yang cukup terpandang disana sehingga ia memiliki banyak teman dari Belanda. Secara tidak langsung, hal ini membuat Maria juga bergaul dengan orang-orang Belanda tersebut dan itu sangat membuka wawasannya.
Ketika berusia 18 tahun, Maria menikah dengan Joseph Frederick Caselung Walanda, seorang guru bahasa di HIS Manado. dari suaminya, Maria belajar banyak hal tentang keadaan masyarakat Sulawesi. Pada Juli 1917, dibantu oleh suami dan teman-temannya Maria mendirikan organisasi PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Turunannya) yang bertujuan untuk memberi pendidikan pada kaum perempuan tentang rumah tangga, misalnya memasak, menjahit, merawat bayi, dan sebagainya. Pembentukan organisasi ini didasari pikiran Maria yang percaya bahwa perempuan adalah tiang keluarga di mana pada merekalah masa depan anak-anak bergantung. Pemikiran-pemikiran MAria tentang sosok perempuan dituangkannya di harian Tjahaja Siang.
PIKAT yang semula hanya di daerah sekitar Maria kemudian berkembang ke daerah lain, misalnya Tondano, Gorontalo, Poso, Batavia, Bogor, Surabaya, Balikpapan, dan sebagainya. 2 Juli 1918, di Manado didirikan sekolah rumah tangga untuk perempuan-perempuan muda, yaitu Huishound School PIKAT. Untuk menambah pemasukan bagi organisasi, Maria berjualan kue dan hasata karya. Semangat dan kerja keras Maria menggugah hati orang-orang terpandang unutk berdonasi.
Pada tahun 1932, PIKAT mendirikan Opieiding School Var Vak Onderwijs Zeressen atau Sekolah Kejuruan Putri. Maria juga aktif mewujudkan cita-citanya supaya kaum perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Maria yakin bahwa perempuan memiliki kemampuan yang sama untuk menuntut ilmu seperti laki-laki. Selain itu, Maria juga berjuang supaya perempuan diberi tempat dalam urusan politik, misalnya hak untuk memilih dan duduk dalam keanggotaan Dewan Kota atau Volksraad. 
Sumber: http://profil.merdeka.com/indonesia/m/mara-walanda-maramis/

Biografi Fatmawati Soekarno


Fatmawati Soekarno
Tokoh Pahlawan Nasional



Fatmawati Soekarno adalah ibu negara pertama dari presiden pertama Indonesia, yaitu Presiden Soekarno dan juga dikenal sebagai penjahit bendera pusaka yang dikibarkan pada saat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Fatmawati Soekarno lahir pada hari Senin, 5 Pebruari 1923 Pukul 12.00 Siang di Kota Bengkulu, sebagai putri tunggal keluarga H. Hassan Din dan Siti Chadidjah. Masa kecil Fatmawati penuh tantangan dan kesulitan, akibat sistem kolonialisme yang dijalankan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Ayahandanya, Hassan Din semula adalah pegawai perusahaan Belanda, Bersomij di Bengkulu. Tetapi karena tidak mau meninggalkan kegiatannya sebagai anggota Muhammadiyah, ia kemudian keluar dari perusahaan itu. Setelah itu, Hassan Din sering berganti usaha dan berpindah ke sejumlah kota di kawasan Sumatera Bagian Selatan.

Tidak banyak diketahui orang bahwa sebenarnya Fatmawati merupakan keturunan dari Kerajaan Indrapura Mukomuko. Sang ayah Hassan Din adalah keturunan ke-6 dari Kerajaan Putri Bunga Melur. Putri Bunga Melur bila diartikan adalah putri yang cantik, sederhana, bijaksana. Tak heran bila Fatmawati mempunyai sifat bijaksana dan mengayomi. Jalinan cinta antara Bung Karno dan Fatmawti pada awalnya membutuhkan perjuangan yang sangat berat. Demi memperoleh Fatmawati yang begitu dicintainya Bung Karno dengan perasaan yang sangat berat terpaksa harus merelakan kepergian Bu Inggit, sosok wanita yang begitu tegar dan tulusnya mendampingi Bung Karno dalam perjuangan mencapai Indonesia Merdeka. Pahit getir sebagai orang buangan (tahanan Belanda) sering dilalui Bung Karno bersama Bu Inggit. Namun sejarah berkata lain. Perjalanan waktu berkehendak lain, kehadiran Fatmawati diantara Bung Karno dan Bu Inggit telah merubah segalanya.
Biografi Fatmawati Soekarno
Soekarno dan Fatmawati

Hari Jumat di bulan Ramadhan, pukul 05.00 pagi, fajar 17 Agustus 1945 memancar di ufuk timur kala, embun pagi masih menggelantung di tepian daun, para pemimpin bangsa dan para tokoh pemuda keluar dari rumah Laksamana Maeda, dengan diliputi kebanggaan setelah merumuskan teks Proklamasi hingga dinihari. Mereka, telah sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia hari itu di rumah Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, pada pukul 10.00 pagi. Tepat pukul 10.00, dengan suara mantap dan jelas, Soekarno membacakan teks proklamasi, pekik Merdeka pun berkumandang dimana-mana dan akhirnya mampu mengabarkan Kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia.


Kalau ada yang bertanya, apa peran perempuan menjelang detik-detik proklamasi kemerdekaan? Tentu kita akan teringat dengan sosok Fatmawati, istri Bung Karno. Dialah yang menjahit bendera Sang Saka Merah Putih. Setelah itu, ada seorang pemudi Trimurti yang membawa nampan dan menyerahkan bendera pusaka kepada Latief Hendraningrat dan Soehoed untuk dikibarkan. Dan, semua hadirin mengumandangkan lagu Indonesia Raya di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Pada hari itu, Ibu Fatmawati ikut dalam

Pada tahun 1943 Bung Karno menikahi Fatmawati, dan oleh karena Fatmawati masih berada di Bengkulu, sementara Bung Karno sibuk dengan kegiatannya di Jakarta sebagai pemimpin Pusat Tenaga Rakyat (Putera), pernikahan itu dilakukan dengan wakil salah seorang kerabat Bung Karno, Opseter Sardjono. Pada 1 Juni 1943, Fatmawati dengan diantar orang tuanya berangkat ke Jakarta, melalaui jalan darat, sejak itu Fatmawati mendampingi Bung Karno dalam perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia. Perjalanan sepasang merpati penuh cinta ini, akhirnya dikaruniai lima orang putra-putri: Guntur, Mega, Rachma, Sukma, dan Guruh. Belum genap mereka mengarungi bahtera rumah tangga, Sukarno tak kuasa menahan gejolak cintanya kepada wanita lain bernama Hartini. Inilah salah satu pangkal sebab terjadinya perpisahan yang dramatis antara Sukarno dan Fatmawati.


Sumber: http://www.biografiku.com/2013/02/biografi-fatmawati-soekarno.html

Biografi Cut Nyak Dien


Cut Nyak Dien
Tokoh Pahlawan Nasional

Tempat/Tanggal lahir: Aceh, 1848 (tanggal dan bulan tidak diketahui)

Tempat/Tanggal wafat: Sumedang, 6 November 1908

Gelar: Pahlawan Nasional

Cut Nyak Dien lahir pada 1848 dari keluarga kalangan bangsawan yang taat beragama. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, seorang uleebalang. Beliau mendapatkan pendidikan agama dan rumah tangga yang baik dari kedua orang tua dan para guru agama. Semua ini membentuk kepribadian beliau yang memiliki sifat tabah, teguh pendirian, dan tawakal.

Seperti umumnya di masa itu, beliau menikah di usia sangat muda dengan Teuku Ibrahim Lamnga. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki. Ketika Perang Aceh meletus tahun 1873, Teuku Ibrahim turut aktif di garis depan. Cut Nyak Dien selalu memberikan dukungan dan dorongan semangat.

Semangat juang dan dan perlawanan Cut Nyak Dien bertambah kuat saat Belanda membakar Masjid Besar Aceh. Dengan semangat menyala, beliau mengajak seluruh rakyat Aceh untuk terus berjuang. Saat Teuku Ibrahim gugur, di tengah kesedihan, beliau bertekad meneruskan perjuangan. Dua tahun setelah kematian suami pertamanya tepatnya pada tahun 1880, Cut Nyak Dien menikah lagi dengan Teuku Umar. Seperti Teuku Ibrahim, Teuku Umar adalah pejuang kemerdekaan yang hebat.

Bersama Cut Nyak Dien, perlawananyang dipimpin Teuku Umar bertambah hebat. Sebagai pemimpin yang cerdik, Teuku Umar pernah mengecoh Belanda dengan pura-pura bekerja sama pada tahun 1893, sebelum kemudian kembali memeranginya dengan membawa Iari senjata dan perlengkapan peranglain. Namun, dalam pertempuran di Meulaboh tanggal 11 Februari 1899 ,Teuku Umar gugur. Sejak meninggalnya Teuku Umar, selama 6 tahun Cut Nyak Dien mengatur serangan besar- besaran terhadap beberapa kedudukan Belanda. Seluruh barang berharga yang masih dimilikinya dikorbankan untuk biaya perang. Meski tanpa dukungan dari seorang suami, perjuangannya tidak pernah surut. Perlawanan yang dilakukan secara bergerilya itu dirasakan Belanda sangat mengganggu, bahkan membahayakan pendudukan mereka di tanah Aceh sehingga pasukan Belanda selalu berusaha menangkapnya.

Namun, kehidupan yang berat dihutan dan usia yang menua membuat kesehatan perempuan pemberani ini mulal menurun. Ditambah lagi, jumlah pasukannya terus berkurang akibat serangan Belanda. Meski demikian,ketika Pang Laot Ali, tangan kanan sekaligus panglimanya, menawarkan untuk menyerah, beliau sangat marah. Akhirnya, Pang Laot Ali yang tak sampai hati melihat penderitaan Cut Nyak Dien terpaksa berkhianat. la melaporkan persembunyian Cut Nyak Dien dengan beberapa syarat, di antaranya jangan melakukan kekerasan dan harus menghormatinya.

Begitu teguhnya pendirian Cut Nyak Dien, bahkan ketika sudah terkepung dan hendak ditangkap dalam kondisi rabun pun masih sempat mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda. Pasukan Belanda yang begitu banyak akhirnya berhasil menangkap tangannya. Beliau marah luar biasa kepada Pang LaotAli. Namun,walau pun di dalam tawanan, Cut Nyak Dien masih terus melakukan kontak dengan para pejuang yang belum tunduk. Tindakannya itu kembali membuat pihak Belanda berang sehingga beliau akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, pada 11 Desember 1906.

Cut Nyak Dien yang tiba dalam kondisi lusuh dengan tangan tak lepas memegang tasbih ini tidak dikenal sebagian besar penduduk Sumedang. Beliau dititipkan kepada Bupati Sumedang, Pangeran Aria Suriaatmaja, bersama dua tawanan lain, salah seorang bekas panglima perangnya yang berusia sekitar 50 tahun dan kemenakan beliau yang baru berusia 15 tahun. Belanda sama sekali tidak memberitahu siapa para tawanan itu. Melihat perempuan yang amat taat beragama itu, Pangeran Aria tidak menempatkannya di penjara, tetapi di rumah H. Ilyas, seorang tokoh agama, di belakang Masjid Besar Sumedang. Perilaku beliau yang taat beragama dan menolak semua pemberian Belanda menimbulkan rasa hormat dan simpati banyak orang yang kemudian datang mengunjungi membawakan pakaian atau makanan. Cut Nyak Dien, perempuan pejuang pemberani ini meninggal pada 6 November 1908.

Beliau dimakamkan secara hormat di Gunung Puyuh, sebuah komplek pemakaman para bangsawan Sumedang, tak jauh dan pusat kota. Sampai wafatnya, masyarakat Sumedang belum tahu siapa beliau, bahkan hingga Indonesia merdeka. Makam beliau dapat dikenali setelah dilakukan penelitian berdasarkan data dari pemerintah Belanda.

Sumber: https://www.pahlawanindonesia.com/biografi-pahlawan-nasional-cut-nyak-dhien/

Biografi R.A Kartini


RA Kartini
Tokoh Pahlawan Nasional

Nama lengkap : Raden Ajeng Kartini

Nama lain : Raden Ayu Kartini, RA Kartini

Tanggal lahir : 21 April 1879

Tempat lahir : Bendera Belanda Jepara, Jawa Tengah, Hindia Belanda

Tanggal meninggal : 17 September 1904

Tempat meninggal : Rembang, Jawa Tengah, Hindia Belanda

Dikenal karena : Emansipasi wanita

Agama : Islam

Pasangan : K.R.M. Adipati Ario Singgih, Djojo Adhiningrat

Anak : R.M Soesalit

BIOGRAFI RADEN AJENG KARTINI

Raden Ajeng Kartini dikenal sebagai salah satu pahlawan nasional yang dikenal gigih memperjuangkan emansipasi wanita kala ia hidup. Seperti yang disebutkan diatas, ia lahir pada tanggal 21 April 1879 di Jepara. Hari kelahirannya itu kemudian diperingati sebagai Hari Kartini untuk menghormati jasa-jasanya pada bangsa Indonesia.

Kartini lahir di tengah-tengah keluarga bangsawan. Ayahnya bernama R.M. Sosroningrat, putra dari Pangeran Ario Tjondronegoro IV, seorang bangsawan yang menjabat sebagai bupati Jepara, yang merupakan kakek dari R.A Kartini. R.M. Sosroningrat merupakan orang yang terpandang sebab posisinya kala itu adalah sebagai bupati Jepara. Ibu Kartini bernama M.A. Ngasirah, beliau ini merupakan anak seorang kiai atau guru agama di Telukawur, Kota Jepara. Menurut sejarah, Kartini merupakan keturunan dari Sri Sultan Hamengkubuwono VI, bahkan ada yang mengatakan bahwa garis keturunan ayahnya berasal dari Kerajaan Majapahit.

Ibu R.A. Kartini sendiri bkan keturunan bangsawan, melainkan hanya rakyat biasa saja, oleh karena itu peraturan kolonial Belanda ketika itu mengharuskan seorang bupati menikah dengan bangsawan juga, hingga akhirnya, ayah Kartini mempersunting seorang wanita bernama Raden Adjeng Woerjan yang merupakan seorang bangsawan keturunan langsung dari Raja Madura ketika itu.

R.A Kartini bersama keluarganya
R.A. Kartini sendiri mempunyai 11 saudara yang terdiri dari saudara kandung dan saudara tiri. Beliau sendiri merupakan anak kelima, namun ia merupakan anak perempuan tertua dari 11 bersaudara. Sebagai seorang bangsawan, R.A. Kartini juga berhak memperoleh pendidikan, ayahnya kemudian menyekolahkan Kartini kecil di ELS (Europese Lagere School). Disinilah Kartini kemudian belajar bahasa Belanda dan bersekolah disana hingga ia berusia 12 tahun, sebab ketika itu, menurut kebiasaan yang ada pada zaman itu, anak perempuan harus tinggal dirumah untuk 'dipingit'.

Pemikiran-pemikiran R.A Kartini tentang Emansipasi Wanita

Meskipun berada dirumah, R.A. Kartini aktif dalam melakukan korespondensi atau surat-meyurat dengan temannya yang berada di Belanda sebab beliau juga fasih dalam berbahasa Belanda. Dari sinilah kemudian, Kartini mulai tertarik dengan pola pikir perempuan Eropa yang ia baca dari surat kabar, majalah serta buku-buku. Hingga kemudian, ia mulai berpikir untuk berusaha memajukan perempuan pribumi sebab dalam pikirannya, kedudukan wanita pribumi masih tertinggal jauh atau memiliki status sosial yang cukup rendah kala itu.

R.A. Kartini banyak membaca surat kabar atau majalah-majalah kebudayaan Eropa yang menjadi langganannya. Di usianya yang ke-20, ia bahkan banyak membaca buku-buku karya Louis Coperus yang berjudul De Stille Kraacht, karya Van Eeden, Augusta de Witt serta berbagai roman-roman beraliran feminis yang kesemuanya berbahasa Belanda, selain itu ia juga membaca buku karya Multatuli yang berjudul Max Havelaar.

Ketertarikannya dalam membaca kemudian membuat beliau memiliki pengetahuan yang cukup luas soal ilmu pengetahuan dan kebudayaan, R.A. Kartini memberi perhatian khusus pada masalah emansipasi wanita karena ia melihat perbandingan antara wanita Eropa dan wanita pribumi sangat jelas. Selain itu, ia juga menaruh perhatian pada masalah sosial yang terjadi. Menurutnya, seorang wanita perlu memperoleh persamaan, kebebasan, otonomi serta kesetaraan hukum.

Surat-surat yang Kartini tulis lebih banyak berupa keluhan-keluhan mengenai kondisi wanita pribumi dimana ia melihat contoh kebudayaan Jawa yang ketika itu lebih banyak menghambat kemajuan dari perempuan pribumi ketika itu. Ia juga mengungkapkan dalam tulisannya bahwa ada banyak kendala yang dihadapi perempuan pribumi khususnya di Jawa. Kartini menuliskan penderitaan perempuan di Jawa seperti harus dipingit, tidak bebas dalam menuntut ilmu, serta adanya adat yang mengekang kebebasan perempuan.

Cita-cita luhur R.A. Kartini adalah ia ingin melihat perempuan pribumi dapat menuntut ilmu dan belajar seperti sekarang ini. Gagasan-gagasan baru mengenai emansipasi atau persamaan hak wanita pribumi oleh Kartini dianggap sebagai hal baru yang dapat merubah pandangan masyarakat. Selain itu, tulisan-tulisan Kartini juga berisi tentang makna Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan, peri Kemanusiaan dan juga Nasionalisme. Kartini juga menyinggung tentang agama, misalnya ia mempertanyakan mengapa laki-laki dapat berpoligami dan mengapa kitab suci itu harus dibaca dan dihafal tanpa perlu kewajiban untuk memahaminya.

Sumber: http://www.profilpedia.com/2014/05/profil-dan-biografi-ra-kartini.html